THE ECONOMIC GRACE OF JESUS

Selasa, 30 Juni 2009 di 20.47
Orang Kristen seringkali gagal untuk melihat kaitan yang sangat erat antara teologi dan ekonomi. Ekonomi seringkali dipandang hanya sebagai masalah duniawi yang terpisah dari teologi. Namun sebenarnya keduanya tidak dapat dipisahkan, karena Alkitab sendiri sejak semula telah membicarakan keduanya sebagai satu kesatuan. Keduanya bergumul dengan sistem yang luas mengenai pertukaran, transfer, subtitusi, dan alat-alat produksi. Ekonomi tidak hanya tercermin dari cerita-cerita para patriakh dan gembala yang ada di kitab Taurat, tetapi setiap bagian Firman mengandung makna ekonomis yang penting untuk diperhatikan.

Apabila kita perhatikan, sebenarnya seluruh cerita Alkitab adalah cerita ekonomi, yang memberikan prinsip-prinsip dasar perekonomian. Cerita tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia adalah sebuah cerita ekonomi yang didalamnya terdapat sistem produksi dan sirkulasi dari barang-barang. Dimulai dari Tuhan yang memproduksi ciptaan-Nya dan memberikan hidup-Nya sendiri sebagai barang yang paling berharga untuk menebus ciptaan-Nya. Kisah yang dimulai dari penciptaan sampai kepada penebusan mengandung makna ekonomis yang sangat tinggi.

Bagian Firman Tuhan paling jelas tentang sistem perekonomian yang berbasiskan anugerah adalah sistem perekonomian hari Sabat. Sistem perekonomian tersebut secara khusus diberikan sebagai solusi perekonomian bangsa Israel yang sangat terkait dengan sistem perbudakan dan hutang piutang. Teologi anugerah sudah pasti sangat terlihat di dalam praktek perekonomian sabat. Namun sayangnya kaum Injili tidak berani mengembangkan pemikiran tersebut karena sistem berteologi kita sudah terjebak dalam kapitaslisme modern dan takut untuk mengembangkan pemikiran ekonomi yang kelihatannya dekat dengan komunisme dan sosialisme.

Alasan lain mengapa sistem perekonomian hari Sabat tidak dipikirkan dengan serius adalah karena anggapan bahwa model perekonomian semacam itu sifatnya hanya utopia yang tidak akan pernah dapat diwujudkan di dunia. Hal ini didukung oleh banyaknya bukti bahwa bangsa Israel sendiri pun melanggar perintah Tuhan tentang peraturan hari Sabat dan hari raya tahun Yobel.

Sedangkan kaum pedagang menolak mentah-mentah sistem perekonomian ini karena untung ruginya tidak dapat diukur dengan standar dunia yang berlaku dan tidak dapat dijabarkan dengan menggunakan peraturan-peraturan ekonomi yang ada.

Pada dasarnya Kekristenan memiliki potensial untuk menawarkan sebuah visi perekonomian yang sangat berbeda dengan sistem perekonomian saat ini yang tidak manusiawi, sebuah langkah praktis yang telah ada sejak jaman perjanjian Allah. Sebuah bentuk sistem perekonomian yang dibentuk oleh Allah sendiri berdasarkan anugerah-Nya. Sebuah sistem perekonomian yang stabil dan dapat diterapkan untuk sepanjang jaman. Perekonomian yang memiliki sifat kekal dan semua yang termasuk di dalamnya sudah pasti akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Sistem perekomian yang tidak dapat digagalkan oleh resesi ataupun inflasi. Sistem ekonomi yang juga diterapkan oleh Yesus. Sistem perekonomian anugerah.

Ini adalah hukum perekonomian berbasis anugerah yang Allah terapkan. Seperti yang telah Yesus sendiri teladankan. Hidup-Nya adalah hidup yang memberi. Dia memberikan hidup-Nya bagi kita dan kita harus memberikan hati kita untuk dapat memperoleh kehidupan yang kekal. Sudah pasti secara matematis prinsip ini tidak akan masuk dalam perhitungan profit yang diharapkan oleh manusia, namun Allah memiliki perhitungan matematisnya sendiri. Dia yang memberi akan menerima. Ada banyak contoh di dalam Alkitab membuktikan hal ini. Anak kecil yang memberikan lima roti dan dua ikan menyaksikan mujizat Allah yang menggandakan sesuatu yang tidak seberapa itu untuk bisa menjadi berkat bagi lebih dari 5000 orang dan bahkan sisa 12 keranjang.
Yesus dengan jelas mengatakan, “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."(Lukas 6:38). Paulus juga mengatakan bahwa, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (1 Kor. 9:6-7).

Prinsip ekonomi dunia mengajarkan kepada kita agar memberi sedikit mungkin untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin. Namun cara investasi yang sangat berbeda Tuhan ajarkan bagi orang percaya. Pemberian kita kepada Tuhan dan sesama kita tidak akan sia-sia dan itu merupakan investasi kita yang tidak hanya akan kita terima di dalam kekekalan melainkan juga sekarang dan hari ini seperti yang Yesus katakan tentang harga untuk mengikut Dia, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.” (Mark 10:29-30).

Prinsip yang sama juga banyak kita temukan dalam Perjanjian Lama, Amsal 3:9-10 mengatakan, “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu, maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya.” Demikian juga Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”

Sudah jelas bahwa Allah memiliki rencana dan sistem perekonomian yang sangat menguntungkan bagi siapa saja yang mau menginvestasikan hidup dan hartanya.

POLITIK DAN KEKRISTENAN

di 09.51
Sebagai orang percaya kita harus memikirkan bagaimana perspektif kekristenan tentang dunia politik dan bagaimana seharusnya kita melibatkan diri di dalamnya. Sudah tentu orang Kristen harus mempromosikan sebuah visi politik yang biblika. Namun demikian harus disadari sepenuhnya bahwa tidak ada bukti adanya korelasi antara kedewasaan spiritual dengan kompetensi manajerial pemerintahan dan keberhasilan dalam berpolitik. Luther sendiri mengatakan bahwa lebih baik bagi dia dipimpin oleh seorang yang tidak beragama dari pada seorang Kristen yang tidak kompeten dalam pemerintahan.

Para politikus Kristen harus menyadari bahwa pemerintahan adalah sebuah institusi yang mengatur relasi-relasi di antara manusia yang berdosa. Oleh sebab itu pemerintahaan di mana pun juga tidak akan mampu untuk mencapai kesempurnaan. Harus dipahami bahwa tujuan dari politik pemerintahan yang baik adalah untuk mencapai keadilan, bukan keselamatan.

Para politikus Kristen juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam politik pembebasan sebagai suatu tujuan yang lebih utama daripada kebebasan spiritual di dalam Kristus yang menghasilkan keselamatan kekal. Sebuah contoh yang menarik dari prinsip ini adalah surat Paulus kepada Filemon.

Sudah pasti Paulus bukanlah seorang pendukung perbudakan, dia seringkali mengkampanyekan kesetaraan status di dalam Kristus. Namun Paulus tidak pernah melakukan kampanye politik penghapusan perbudakan yang sudah pasti akan gagal di jamannya. Lebih daripada itu dia tidak memerintahkan Filemon untuk membebaskan Onesimus, budaknya yang melarikan diri, sebaliknya dia mengembalikan Onesimus kepada Filemon, tuannya, setelah bertemu dengan Paulus dalam masa pelariannya. Namun Paulus meminta kepada Filemon untuk menerima kembali Onesimus bukan sebagai budak melainkan sebagai saudara, bahkan dia menasehati agar Onesimus diterima kembali sebagaimana Filemon menerima Paulus yang adalah Bapa rohani bagi Filemon (15-17).

Dimasukkannya surat Filemon ke dalam Perjanjian Baru mengindikasikan bahwa Filemon mengabulkan permintaan Paulus. Pada tahun 110 AD ada sebuah surat yang ditulis oleh Bishop Ignatius dari Siria kepada Bishop Onesimus di Efesus. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Bishop Onesimus ini adalah orang yang sama dengan budak Onesimus yang melarikan diri dari Filemon tuannya. Contoh dari kisah Onesimus ini menjadi tanda kebebasan yang sejati bagi seorang budak lebih daripada semua hasil usaha emansipasi dan perjuangan kesetaraan sosial yang pernah ada, karena kebebasaannya bukan hanya secara fisik dan sosial tetapi yang lebih utama adalah secara spiritual. Bahkan Paulus mendorong para budak untuk menaati tuan mereka sehingga mereka dapat memuliakan ajaran Allah (Titus 2:10). Spiritual, dan bukan politikal, keselamatan harus selalu menjadi tujuan utama dari orang percaya.

Jadi perspektif kita sebagai orang Kristen tentang politik dan kebijakan publik seharusnya adalah untuk mempromosikan prinsip-prinsip dasar kekristenan dalam kehidupan sipil secara menyeluruh, khususnya dalam pemerintahan.

WOMEN IN POLITIC

Kamis, 11 Juni 2009 di 22.46

Sampai sekarang masih banyak gereja yang belum bisa menerima keterlibatan wanita dalam kepemimpinan apalagi dalam dunia politik yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan publik.

Di PL ada dua wanita yang secara langsung terlibat dalam politik bangsa Israel dan mengambil posisi yang sangat penting untuk menentukan nasip bangsa itu. Sayangnya mereka biasanya dipublikasikan hanya sebagai wanita beriman yang dipakai Tuhan dan bukan sebagai tokoh politik. Kedua wanita itu adalah Deborah dan Ester. Selain PL dalam literatur intertestamental kita juga memiliki Kitab Suzana yang menceritakan kisah serupa, tentang perjuangan seorang wanita yang berani mengambil resiko untuk menjadi penentu nasip bangsa.

Pertempuran dalam Hakim-hakim 4 adalah pertempuran yang sangat istimewa karena wanita yang menjadi penentu dari kemenangan Israel. Sepanjang sejarah Israel dan pada umumnya wanita menempati kedudukan yang rendah dalam masyarakat. Akan tetapi dalam cerita ini kita diperkenalkan dengan seorang istri dan ibu rumah tangga yang berkarir sebagai hakim dan nabiah.

Dalam kisah ini juga dikontraskan antara Debora dan Barak seorang panglima perang, dan ternyata Deborah terbukti lebih berani dan berhasil dalam memimpin pasukan. Pada waktu itu Debora hanya memiliki 10,000 tentara yang berjalan kaki sedangkan musuhnya memiliki 900 kereta besi. Namun dalam kondisi yang kurang menguntungkan itu, Deborah dengan berani mengambil tantangan untuk menjadi pemimpin militer dan mengalami kemenangan besar karena pertolongan Tuhan.

Bukan hanya itu saja kematian dari Sisera juga berada ditangan seorang wanita biasa, ibu rumah tangga yang berani mengambil resiko dan keputusan besar untuk menentukan nasip bangsanya. Wanita itu adalah Yael. Dengan taktik yang cerdik dia berhasil membunuh panglima tentara Kanaan, Sisera dengan patok besi yang dipakukan di kepala ketika Sisera tidur.

Lain lagi dengan cerita Ester, dia adalah seorang istri raja yang berani melawan hukum untuk menemui raja sebelum dipanggil demi menyelamatkan bangsanya. Sekali lagi kita melihat bagaimana seorang wanita biasa bisa menjadi luar biasa ketika mereka berani mengambil resiko dan terlibat dalam urusan kenegaraan. Apa yang dilakukan oleh Ester sangat beresiko, dia bisa mati hanya karena menemui suaminya sebelum waktunya. Tetapi apa yang dia lakukan selanjutnya juga sangat menakjubkan. Dengan berani Ester membeberkan kejahatan sahabat raja. Dalam situasi politik bernegara yang kotor dan penuh intrik, bisa saja Ester tidak dipercaya oleh suaminya, akan tetapi itu adalah resiko dari apa yang dia kerjakan. Dan atas pertolongan Tuhan kesediaan Ester untuk melibatkan diri dalam urusan politik kenegaraan dengan mengesampingkan kenyamanan pribadi membawa hasil yang luar biasa. Satu bangsa diselamatkan.

Suzana pun demikian, dia adalah seorang janda yang berkabung atas kematian suaminya. Akan tetapi ketika bangsanya terjepit karena ancaman musuh, dia tidak bisa tinggal dia. Dengan berani, Suzana mengganti pakaian kabungnya dengan pakaian pesta, mendatangi kemah musuh, menyelinap dan membuat pempimpin pasukan musuh jatuh cinta kepada dia. Dengan taktiknya, itu dia berhasil membunuh kepala pasukan itu dan bangsanya diselamatkan. Suatu tindakan heroik dari seorang janda.

KEKOSONGAN PEMIKIRAN KRISTEN

Rabu, 10 Juni 2009 di 19.53
Masa ini merupakan masa yang penuh bahaya sekaligus kesempatan; bahayanya adalah ketika masyarakat umum secara unik terbuka kepada masalah rohani dan lapar akan ide-ide yang visioner, pemikiran Kristen seringkali ditemukan kosong, pasif dan lebih merefleksikan pemikiran duniawi dari pada pemikiran yang biblika.

“Kita barangkali berbicara tentang memenangkan dunia bagi Kristus. Akan tetapi ‘peperangan’ seperti apakah yang kita maksudkan?” tulis John Stott. “Bukan sebuah kemenangan karena kekuatan militer...Ini adalah peperangan ide.” Akan tetapi sangat mengejutkan karena hanya ada sedikit pejuang. Mereka yang mengikut Kristus seringkali mengundurkan diri ke dalam kesalehan pribadi dan pekerjaan baik, atau seperti yang dikatakan oleh seorang komentator BBC di Oxford, orang-orang Kristen terlalu sering hanya sekedar menawarkan ‘perasaan’ dan ‘kemurahan hati’.

Yang paling membahayakan di jaman kita adalah dimana ketika pemikiran Kristen paling dibutuhkan, justru orang-orang Kristen malah tidak menyadari kebutuhan untuk berpikir. Bahkan ada kesan bahwa pemikiran yang tidak dikembangkan adalah lebih saleh dan berharga dari pada pemikiran yang dipersiapkan untuk peperangan. Bahkan banyak orang Kristen yang percaya bahwa kerendahan hati sama dengan kebodohan dan itu lebih mulia dari pada sebuah pemikiran yang tajam. Oleh sebab itu banyak orang Kristen yang dibodohi baik oleh orang-orang diluar kekristenan maupun oleh gereja sendiri khususnya para pengkhotbah yang tidak berpikir secara biblika.

Gereja harus bertanya pada diri sendiri, masih adakah pemikiran Kristen di dalam gereja? Saya tidak berbicara tentang khotbah dan PA, tetapi pemikiran apakah yang mendasari gereja ketika membuat program-programnya? Tanpa disadari sebenarnya gereja telah banyak mengadopsi pemikiran duniawi yang materialistis, individualistik dan hedonis. Berlomba-lomba untuk menjadi gereja yang paling mewah dan megah. Memikirkan marketing yang sempurna untuk bisa bersaing mendapatkan jemaat, tanpa peduli bahwa jemaat itu adalah anggota dari gereja lain.

Bagaimana dengan kita yang menyebut diri sebagai Hamba Tuhan? Pemikiran apakah yang mendasari pelayanan kita? Uang? Jabatan? Kekuasaan? Ataukah panggilan yang mulia yang berasal dari Allah? Matius 7:21-23 memberikan gambaran yang mengerikan bagi hamba Tuhan yang kehilangan pemikiran Alkitabiahnya. “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehedak BapaKu yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaku kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Barangkali kita akan menyaksikan ada hamba Tuhan yang berseru: “Tuhan, Tuhan, bukankah Aku KKR demi namaMu, gedung gerejaku megah demi namaMu dan jemaatku ribuan demi namaMu” yang perlu kita pikirkan adalah: apakah Tuhan mengenal kita ketika kita berhadapan dengan Dia?

BIBLICAL CONTEXT FOR SOCIAL AND POLITICAL ADVOCACY

Jumat, 05 Juni 2009 di 09.18

Selama lebih dari 20 tahun saya mengenal Kristus secara pribadi, saya tidak dapat mengingat mendengar sebuah khotbah yang fokus kepada keadilan sosial dan ekonomi sebagai suatu dimensi yang integral dengan pesan biblika. Iman Kristen selalu dipaparkan dalam level personal dan interpersonal, bukan dalam konteks sistem ekonomi dan sosial, juga struktur kekuatan politik.

Namun sebenarnya pemisahan yang sangat ekstrim antara dunia teologi dan politik yang sekarang ini terjadi sangat berbeda dengan fakta yang dipaparkan dalam Alkitab. Apabila kita memikirkan status orang percaya sebagai umat pilihan Allah yang memiliki fungsi sebagai imam dan nabi, maka tugas untuk melakukan political advocacy merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Panggilan untuk melakukan advocacy selalu disuarakan sejak jaman Perjanjian Lama dan saya percaya ini merupakan tugas yang tidak akan pernah berhenti selama kita masih berada di dunia dan berhadapan dengan politik dunia yang berdosa.

Nabi Amos dalam pelayanannya menyampaikan sebuah pidato yang menegur dengan sangat keras praktek ketidakadilan sosial yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dalam Amos 2:6-8 ada tujuh pelanggaran sosial yang ditegur oleh Amos antara lain: Menjual kebenaran, menjual orang miskin, mengijak-injak kepala orang lemah, membelokkan jalan orang sengsara, eksploitasi seksual, mengambil pakaian yang diberikan untuk persembahan, dan minum anggur orang-orang yang kena denda. Demikian juga Mikha menyuarakan hal yang sama, salah satu pesan yang menjadi penekannya adalah tidak adanya keadilan (3:9). Orang-orang diusir dari tempat kediamannya dan bahkan jubah orang-orang yang suka damai dirampas (2:1-5, 8-10). Seperti Amos yang menegur para pelaku bisnis yang tidak jujur (Amos 8:4-6), Mikha mengatakan hal yang sama tentang para pelaku bisnis yang menggunakan timbangan palsu (6:10-11). Korupsi para pemimpin bangsa merupakan sesuatu yang juga diperhatikan oleh Mikha seperti nabi-nabi klasik lainnya. Para nabi, imam, dan penguasa semuanya berlaku tidak benar (3:11-7:3).

Tuntutan Tuhan untuk mempraktekkan keadilan lebih daripada persembahan adalah pesan yang umum dalam kitab nabi-nabi (Amos 5:21-24, Hos. 6:6, Yes. 1:13-17, Mik. 6:6-8). Zefanya pun menyuarakan teguran atas praktek Kejahatan dan ketidakadilan. Dia mengatakan ada banyak orang yang cepat (“melompati ambang pintu”) untuk pergi ke rumah orang lain dan melakukan kejahatan demi memperkaya diri sendiri dan orang-orang seperti ini akan mengalami penghukuman dari Tuhan (1:9). Demikian juga Habakuk yang menyampaikan pidato yang mengatakan: celakalah orang yang sombong 2:4-5, celakalah orang yang rakus 2:6-8, celakalah orang yang tidak jujur 2:9-11, celakalah orang yang melakukan kejahatan 2:12-14, celakalah orang yang immoral 2:15-17, celakalah orang yang menyembah berhala 2:18-20.

Masih banyak lagi contoh yang dilakukan oleh para nabi untuk memberikan advocacy bagi para pemimpin bangsa yang melakukan ketidakbenaran. Yesaya juga memaparkan kondisi jaman dimana dia melayani sebagai nabi: Hukum telah terdesak ke belakang, dan keadilan berdiri jauh-jauh, sebab kebenaran tersandung di tempat umum dan ketulusan ditolak orang (Yesaya 59:14). Bukankah situasi yang dipaparkan Yesaya dan para nabi yang telah disebutkan di atas sangat relevan dengan apa yang kita alami pada saat ini.

Sangat penting bagi kita, orang-orang percaya untuk memikirkan peran profetik kita di negara ini. Saya tidak mengusulkan bahwa semua orang Kristen harus terlibat dalam politik praktis, tetapi memikirkan ulang peran kita dalam komunitas yang lebih besar dari pada sekedar jemaat bergereja.

Konsep umum yang dimiliki oleh orang percaya khususnya kaum injil adalah bahwa politik itu kotor dan gereja itu suci. Namun tanpa kita sadari sebenarnya tidak seorang pun bisa terbebas dari kehidupan berpolitik. Bahkan gereja pun memiliki politiknya sendiri yang bisa jadi tidak lebih bersih daripada politik dalam pemerintahan. Pemisahan yang sangat ekstrim ini memunculkan sikap pasif dan apatis di dalam jemaat. Seperti yang dikatakan oleh John Stott, orang Kristen lebih cenderung mengundurkan diri ke dalam kesalehan pribadi dari pada melakukan pemikiran-pemikiran yang dapat mempengaruhi dunia.

Dalam konteks diskusi isu relasi antara gereja dan masyarakat, gereja seharusnya berfungsi sebagai hati nurani sosial, dan menjadi acuan sosial, dan pada waktunya akan mengambil peran sebagai agen perubahan sosial. Disinilah peran advocacy sangat diperlukan. Dalam menghadapi permasalahan sosial, moral, ketidakadilan dan politik yang penuh dengan kecurangan, orang-orang Kristen dipanggil untuk mengambil posisi dan memberikan advocacy berdasarkan Firman Tuhan yang hidup. Kita dipanggil untuk berani mempertahankan jati diri kita, untuk memberi pertanggungjawaban iman dan mengemban kesaksian untuk kebenaran.

PARA IMAM MEMBERI PENGAJARAN KARENA BAYARAN

di 08.38

Refleksi dari Mikha 3:1-12

Menarik untuk diperhatikan bahwa setiap kali Tuhan murka atas umat Israel karena kebobrokan bangsa, yang diminta untuk bertanggung jawab oleh Tuhan adalah para imam dan nabi. Hal ini sangat berbeda dengan situasi negara kita, dimana para pemimpin gereja sangat memisahkan diri dengan urusan kenegaraan dan bangsa. Politik itu kotor, gereja itu suci, slogan itulah yang bergema di kalangan injili.

Nabi Mikha hidup di dalam jaman yang penuh dengan ketidakadilan dan kebobrokan moral terjadi dimana-mana. Saking parahnya dosa umat Tuhan dikatakan keluar dari tempat-Nya, turun berjejak di atas bukit-bukit bumi. (1:3). Seakan-akan Allah tidak tahan lagi melihat semua kejahatan yang terjadi sehingga Dia sendiri harus turun tangan menghukum umatNya. Saking murkaNya Allah penghukuman yang diberikan juga sangat dhsyat, dikatakan maka luluhlah gunung-gunung di bawah kakiNya, dan lembah-lembah terbelah seperti lilin di depan api, seperti air tercurah di penurunan. (1:4)

Semuanya ini terjadi karena pelanggaran Yakub, dan karena dosa kaum Israel. Pelanggaran Yakub itu apa? Bukankah itu Samaria? Dosa kaum Yehuda itu apa? Bukankah itu Yerusalem? Sebab itu Aku akan membuat Samaria menjadi timbunan puing di padang, menjadi tempat penanaman pohon anggur. Aku akan menggulingkan batu-batunya ke dalam lembah dan akan menyingkapkan dasar-dasarnya. (1:5-6). Itulah yang dikatakan oleh Tuhan mengenai umatNya. Semuanya kehancuran bangsa itu terjadi karena dosa mereka.

Namun yang menarik disini, Tuhan tidak hanya menyalahkan para pelaku politik praktis di Israel. Yang ditegur dengan keras oleh Tuhan adalah semua pemimpin Israel termasuk para imam dan nabi.

Kataku: Baiklah dengar, hai para kepala di Yakub, dan hai para pemimpin kaum Israel! Bukankah selayaknya kamu mengetahui keadilan, hai kamu yang membenci kebaikan dan yang mencintai kejahatan? Mereka merobek kulit dari tubuh bangsaku dan daging dari tulang-tulangnya; mereka memakan daging bangsaku, dan mengupas kulit dari tubuhnya; mereka meremukkan tulang-tulangnya, dan mencincangnya seperti daging dalam kuali, seperti potongan-potongan daging di dalam belanga. Mereka sendirilah nanti akan berseru-seru kepada TUHAN, tetapi Ia tidak akan menjawab mereka; Ia akan menyembunyikan wajah-Nya terhadap mereka pada waktu itu, sebab jahat perbuatan-perbuatan mereka. (3:1-4)

Siapa para pemimpin Kaum Israel? Siapakah mereka yang seharusnya mengetahui keadilan tetapi membenci kebaikan dan mencintai kejahatan? Siapakah orang-orang yang melakukan tindakan keji tersebut? Siapakah Mereka yang melakukan praktek kanibalisme dengan mengeksploitasi umat? Tentu saja bisa dengan mudah kita katakan bahwa mereka itu adalah para koruptor, pemerintahan yang kotor para pejabat yang sewenang-wenang dan seterusnya. Akan tetapi bisakah kita mengatakan bahwa di dalamnya termasuk para pemimpin Kristen? Para pendeta? Penginjil? Guru-guru agama Kristen? Dan semua orang awam yang menyebut diri mereka Kristen?

Beginilah firman TUHAN terhadap para nabi, yang menyesatkan bangsaku, yang apabila mereka mendapat sesuatu untuk dikunyah, maka mereka menyerukan damai, tetapi terhadap orang yang tidak memberi sesuatu ke dalam mulut mereka, maka mereka menyatakan perang. (3:5)

Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: "Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!" (3:11)

Inilah saat bagi para pemimpin Kristen bertanya pada diri sendiri. Masih adakah pemikiran Kristen yang biblika di dalam gereja. Bukan hanya apa yang disampaikan di dalam khotbah mimbar tetapi dalam setiap aspek pengajaran dan terutama kehidupan bergereja. Apakah sebenarnya kita telah mengadopsi cara pikir duniawi ke dalam kehidupan kekristenan kita seperti yang dilakukan para nabi dan imam di jaman Mikha? Apakah kita sedang mengusung relativisme moral, individualisme yang otonom, meterialisme atau modernisme yang seakan-akan menawarkan solusi bagi semua masalah? Apa yang menjadi dasar pemikiran dari pengajaran dan program-program gereja kita?

Para nabi dan imam di jaman Mikha dengan jelas melakukan banyak sekali penyelewengan dan bahkan dengan jelas dikatakan mereka mengkomersilkan jabatan nabi dan keimaman mereka. Dan itu merupakan akar dari kebejatan dan kebobrokan yang terjadi di Israel. Apabila situasi ini juga terjadi di gereja dan kehidupan kristiani secara umum di negara kita, maka kita tidak berhak menghakimi siapa pun atas apa yang sedang terjadi di Indonesia. Karena ternyata kita pun tidak lebih baik dari orang-orang yang kita nyatakan bersalah.

Teguran yang keras bagi para imam dan nabi ini juga tidak membebaskan para awam Kristen. Karena pada prinsip kita semua adalah imamat yang rajani. Kita semua memiliki tugas dan tanggung jawab bersama untuk menyuarakan pengenalan akan Allah, keadilan dan kebenaran di mana pun kita berada.

BANGSAKU BINASA KARENA TIDAK MENGENAL ALLAH

di 08.35

Refleksi dari Hosea 4

Pada tanggal 2 Mei 2009 salah seorang member di Kompas Forum memposting pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

Apa yang salah dengan bangsa kita,? Kenapa kita menjadi bangsa pembunuh? Kenapa kita jadi bangsa yang ingin berpecah belah? Kenapa kita jadi bangsa yang ingin memerdekakan diri sendiri? Kenapa kita jadi bangsa koruptor? Kenapa kita jadi bangsa pembunuh? Kenapa kita menjadi bangsa yg emosional? Kenapa kita menjadi bangsa yg tidak bisa bersabar? Kenapa kita menjadi bangsa yg tidak mau belajar? Kenapa kita tidak menjadi bangsa yg berbesar hati dgn perbedaan? Kenapa kita menjadi bangsa yg payah berunding? Kenapa kita kehilangan harga diri kita sendiri? Kenapa kita tidak bisa saling menghargai? Kenapa kita semua seperti kesetanan dgn demokrasi? Kenapa kita tidak menerima otoriter? Kenapa kita menerima demokrasi(demoCRAZY)? Kenapa kita GILA? Kenapa kita menjadi bangsa yg sarat dengan kepentingan pribadi? Kenapa kita mementingakan perut sendiri? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Sebenarnya sudah ada terlalu banyak teori dan pendapat yang coba dikemukakan oleh berbagai kalangan untuk menjawab pertanyaan apa yang salah dengan bangsa kita? Ada yang menyalahkan pemerintah, para koruptor, para penjajah, fundamentalisme agama, dan lain sebagainya. Siapakah yang sebenarnya patut untuk dipersalahkan?

Nabi Hosea juga hidup dalam satu kekacauan politik yang luar biasa. Dia mengalami pergantian raja sebanyak 6 kali selama masa 30 tahun (3 raja memerintah hanya selama 2 tahun atau kurang, 4 dibunuh dan yang terakhir ditangkap oleh kerajaan Asyur). Bisa kita bayangkan betapa luar biasa kacaunya bangsa itu. Tentu saja Allah tidak berdiam diri melihat semua kekacauan yang terjadi oleh sebab itu di dalam Hosea 4 kita dibawa kepada suatu pengadilan ilahi yang dasyat.

Di dalam pengadilan ilahi itu Israel menjadi terdakwa sedangkan Allah bertindak sebagai hakim sekaligus jaksa penuntut. Di sana Allah memaparkan dengan gamblang apa yang menjadi kesalahan dari bangsa itu. Dikatakan bahwa Tuhan memiliki perkara dengan penduduk negeri karena disana tidak ada kesetiaan, tidak ada kasih, tidak ada pengenalan akan Allah. Yang ada hanya berbagai macam kejahatan seperti mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, berzinah dan penumpahan darah (ay. 1-2). Bukankah apa yang dipaparkan disini juga merupakan gambaran tentang apa yang sedang terjadi di negara kita? Bisakah kita membayangkan bahwa kita juga lah yang sebenarnya duduk di kursi terdakwa dan mendengar semua dakwaan yang Allah sampaikan di dalam pengadilan ilahiNya?

Karena kesalahan Isarel berat, maka Tuhan sebagai Hakim yang adil menjatuhkan keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa bangsa itu akan mengalami penghukuman berat. Disebutkan dalam ayat 3 bahwa malapetaka akan menimpa Israel, sebab itu negeri ini akan berkabung, dan seluruh penduduknya akan merana; juga binatang-binatang di padang dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut akan mati lenyap (ay. 3). Inilah yang disebut dengan hukuman total, semua unsur merasakan murka Allah manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bukankah hukuman yang sama sekarang ini sedang kita rasakan di Indonesia? Bangsa kita merana karena berbagai krisis yang kita rasakan di segala aspek, termasuk juga bencana alam yang bertubi-tubi terjadi. Apakah itu semua merupakan bagian dari hukumam yang Tuhan telah putuskan di pengadilan ilahiNya karena kebobrokan dari dosa bangsa kita?

Yang menarik adalah ketika kita gereja dan umat Tuhan saling menuduh dan mencari kambing hitam atas apa yang sedang terjadi, Kitab Hosea memberikan prespektif yang sama sekali berbeda. Tuhan berbicara kepada bangsa Israel untuk tidak saling menyalahkan atau saling menuduh karena semua tuntutan itu ternyata ditujukan kepada para imam dan nabi. Kepada kedua pemimpin agama itulah hukuman yang lebih spesifik dinyatakan, Hanya janganlah ada orang mengadu, dan janganlah ada orang menegor, sebab terhadap engkaulah pengaduan-Ku itu, hai imam! Engkau akan tergelincir jatuh pada siang hari, juga nabi akan tergelincir jatuh bersama-sama engkau pada malam hari; dan Aku akan membinasakan ibumu (ay 4-5).

Apa sebenarnya yang terjadi dengan para imam dan nabi? Kesalahan apa yang mereka lakukan sehingga segala kejahatan yang terjadi di Israel menjadi tanggung jawab mereka? Ayat 6 mengatakan, “UmatKu binasa karena tidak mengenal Allah, karena engkaulah yang menolak pengenalan itu”. Inilah yang menjadi inti dari segala macam permasalahan yang terjadi di Israel. Bangsa itu menjadi bangsa yang tidak mengenal Allah. Karena tidak adanya pengenalan akan Allah, mereka menjadi bangsa yang melawan Allah. Dan yang paling bertanggung jawab dengan tidak adanya pengenalan akan Allah ini tentu saja adalah para pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan semuanya itu kepada umat. Namun ironis di dalam ayat ini Tuhan berkata bahwa justru para imamlah yang menolak pengenalan itu. Lebih para lagi para imam tidak hanya menolak pengenalan akan Allah tetapi mereka juga “mendapatkan rejeki dari UmatKu dan mengharapkan umatKu berbuat salah” (ay. 8).

Orang pasti berharap, atau paling tidak menganggap bahwa bahwa para imam adalah orang-orang yang membenci dosa, akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Bagaimana mungkin seorang imam mendapatkan rejeki dari dosa umat? Dalam ayat ini Hosea berbicara tentang korban yang diberikan untuk menebus kesalahan. Kita sudah tentu mengetahui bahwa korban tersebut adalah binatang yang memang setelah dipersembahkan sudah seharusnya diberikan kepada imam untuk makanan mereka. Para imam ternyata mengharapkan umat untuk terus berbuat dosa supaya korban yang mereka berikan semakin banyak dan itu akan menguntungkan bagi para imam. Mereka tidak lagi peduli akan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai imam, sebaliknya para imam tersebut hanya memikirkan kepentingan untuk memperkaya diri sendiri. Seorang imam yang sejati seharusnya lebih memilih sedikit makanan di mejanya dari pada banyaknya daging yang dikorbankan karena itu berarti semakin banyak korban semakin banyak dosa umat. Mari kita bandingkan para imam di PL dengan iman tertinggi Yesus Kristus. Yesus mati karena dosa, para imam makan dari dosa. Yesus menangis karena dosa, para imam bersukacita karena dosa. Yesus menanggung akibat dosa, para imam justru berpartisipasi di dalam melakukan dosa.

Yang lebih mengerikan lagi di dalam ayat 7 Tuhan berfirman, “Makin bertambah banyak mereka, makin berdosa mereka kepada-Ku, kemuliaan mereka akan Kutukar dengan kehinaan.” Suatu paradoks yang perlu untuk dipikirkan dengan serius. Semakin bertambah banyak imam semakin bertambah banyak dosa. Apakah fakta ini relevan dengan apa yang terjadi di negara kita? Beranikah kita katakan bahwa semakin banyak pendeta di Indonesia semakin banyak dosa? Atau karena pada dasarnya semua orang percaya adalah imam (imamat yang rajani: 1 Petrus 2:9) beranikah kita berkata bahwa semakin banyak orang Kristen di Indonesia, dosa juga menjadi semakin banyak?

Sudah tentu sekarang tidak ada korban bakaran yang bisa kita makan, akan tetapi yang menjadi inti asal mula dosa para imam adalah kerakusan mereka terhadap materi dan keinginan untuk menyenangkan diri sendiri sehingga melupakan tugas utama mereka dalam mengajarkan pengenalan akan Allah. Hari ini tidak ada lagi korban bakaran yang membuat kita lari dari tugas kita sebagai imam, akan tetapi ada banyak bahaya dan godaan lainnya yang dapat membuat kita melalaikan tugas utama gereja Tuhan dalam panggilan-Nya. Salah siapakah apabila umat tidak lagi mengenal Allah-Nya? Salah sapakah apabila umat tidak lagi peka terhadap dosa? Salah siapakah apabila Tuhan murka karena tidak menemukan pengenalan akan Allah di negeri kita?

Berdasarkan apa yang dipaparkan dalam Hosea ini, sudah saatnya bagi kita untuk tidak menuding orang lain atas apa yang terjadi di negara kita, sebaliknya ini adalah saat yang tepat bagi semua orang percaya untuk mengevaluasi diri, jangan-jangan apa yang terjadi di Indonesia ini merupakan wujud dari murka Allah terhadap kita yang telah menolak pengenalan akan Tuhan, dan lalai untuk mengajarkannya.

Mari kita kerjakan tugas panggilan kita dengan hati yang takut akan Tuhan supaya pada hari kita bertemu Tuhan nanti bukan perkataan, “karena engkau menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi hamba-Ku” melainkan “Baik sekali perbuatanmu itu hai, hamba-Ku yang baik dan setia. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. Amin.

DWI MARIA | Powered by Blogger | Entries (RSS) | Comments (RSS) | Designed by MB Web Design | XML Coded By Cahayabiru.com