BIBLICAL CONTEXT FOR SOCIAL AND POLITICAL ADVOCACY

Jumat, 05 Juni 2009 di 09.18

Selama lebih dari 20 tahun saya mengenal Kristus secara pribadi, saya tidak dapat mengingat mendengar sebuah khotbah yang fokus kepada keadilan sosial dan ekonomi sebagai suatu dimensi yang integral dengan pesan biblika. Iman Kristen selalu dipaparkan dalam level personal dan interpersonal, bukan dalam konteks sistem ekonomi dan sosial, juga struktur kekuatan politik.

Namun sebenarnya pemisahan yang sangat ekstrim antara dunia teologi dan politik yang sekarang ini terjadi sangat berbeda dengan fakta yang dipaparkan dalam Alkitab. Apabila kita memikirkan status orang percaya sebagai umat pilihan Allah yang memiliki fungsi sebagai imam dan nabi, maka tugas untuk melakukan political advocacy merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Panggilan untuk melakukan advocacy selalu disuarakan sejak jaman Perjanjian Lama dan saya percaya ini merupakan tugas yang tidak akan pernah berhenti selama kita masih berada di dunia dan berhadapan dengan politik dunia yang berdosa.

Nabi Amos dalam pelayanannya menyampaikan sebuah pidato yang menegur dengan sangat keras praktek ketidakadilan sosial yang dilakukan oleh bangsa Israel. Dalam Amos 2:6-8 ada tujuh pelanggaran sosial yang ditegur oleh Amos antara lain: Menjual kebenaran, menjual orang miskin, mengijak-injak kepala orang lemah, membelokkan jalan orang sengsara, eksploitasi seksual, mengambil pakaian yang diberikan untuk persembahan, dan minum anggur orang-orang yang kena denda. Demikian juga Mikha menyuarakan hal yang sama, salah satu pesan yang menjadi penekannya adalah tidak adanya keadilan (3:9). Orang-orang diusir dari tempat kediamannya dan bahkan jubah orang-orang yang suka damai dirampas (2:1-5, 8-10). Seperti Amos yang menegur para pelaku bisnis yang tidak jujur (Amos 8:4-6), Mikha mengatakan hal yang sama tentang para pelaku bisnis yang menggunakan timbangan palsu (6:10-11). Korupsi para pemimpin bangsa merupakan sesuatu yang juga diperhatikan oleh Mikha seperti nabi-nabi klasik lainnya. Para nabi, imam, dan penguasa semuanya berlaku tidak benar (3:11-7:3).

Tuntutan Tuhan untuk mempraktekkan keadilan lebih daripada persembahan adalah pesan yang umum dalam kitab nabi-nabi (Amos 5:21-24, Hos. 6:6, Yes. 1:13-17, Mik. 6:6-8). Zefanya pun menyuarakan teguran atas praktek Kejahatan dan ketidakadilan. Dia mengatakan ada banyak orang yang cepat (“melompati ambang pintu”) untuk pergi ke rumah orang lain dan melakukan kejahatan demi memperkaya diri sendiri dan orang-orang seperti ini akan mengalami penghukuman dari Tuhan (1:9). Demikian juga Habakuk yang menyampaikan pidato yang mengatakan: celakalah orang yang sombong 2:4-5, celakalah orang yang rakus 2:6-8, celakalah orang yang tidak jujur 2:9-11, celakalah orang yang melakukan kejahatan 2:12-14, celakalah orang yang immoral 2:15-17, celakalah orang yang menyembah berhala 2:18-20.

Masih banyak lagi contoh yang dilakukan oleh para nabi untuk memberikan advocacy bagi para pemimpin bangsa yang melakukan ketidakbenaran. Yesaya juga memaparkan kondisi jaman dimana dia melayani sebagai nabi: Hukum telah terdesak ke belakang, dan keadilan berdiri jauh-jauh, sebab kebenaran tersandung di tempat umum dan ketulusan ditolak orang (Yesaya 59:14). Bukankah situasi yang dipaparkan Yesaya dan para nabi yang telah disebutkan di atas sangat relevan dengan apa yang kita alami pada saat ini.

Sangat penting bagi kita, orang-orang percaya untuk memikirkan peran profetik kita di negara ini. Saya tidak mengusulkan bahwa semua orang Kristen harus terlibat dalam politik praktis, tetapi memikirkan ulang peran kita dalam komunitas yang lebih besar dari pada sekedar jemaat bergereja.

Konsep umum yang dimiliki oleh orang percaya khususnya kaum injil adalah bahwa politik itu kotor dan gereja itu suci. Namun tanpa kita sadari sebenarnya tidak seorang pun bisa terbebas dari kehidupan berpolitik. Bahkan gereja pun memiliki politiknya sendiri yang bisa jadi tidak lebih bersih daripada politik dalam pemerintahan. Pemisahan yang sangat ekstrim ini memunculkan sikap pasif dan apatis di dalam jemaat. Seperti yang dikatakan oleh John Stott, orang Kristen lebih cenderung mengundurkan diri ke dalam kesalehan pribadi dari pada melakukan pemikiran-pemikiran yang dapat mempengaruhi dunia.

Dalam konteks diskusi isu relasi antara gereja dan masyarakat, gereja seharusnya berfungsi sebagai hati nurani sosial, dan menjadi acuan sosial, dan pada waktunya akan mengambil peran sebagai agen perubahan sosial. Disinilah peran advocacy sangat diperlukan. Dalam menghadapi permasalahan sosial, moral, ketidakadilan dan politik yang penuh dengan kecurangan, orang-orang Kristen dipanggil untuk mengambil posisi dan memberikan advocacy berdasarkan Firman Tuhan yang hidup. Kita dipanggil untuk berani mempertahankan jati diri kita, untuk memberi pertanggungjawaban iman dan mengemban kesaksian untuk kebenaran.

0 komentar

Posting Komentar

DWI MARIA | Powered by Blogger | Entries (RSS) | Comments (RSS) | Designed by MB Web Design | XML Coded By Cahayabiru.com