Sebagai orang percaya kita harus memikirkan bagaimana perspektif kekristenan tentang dunia politik dan bagaimana seharusnya kita melibatkan diri di dalamnya. Sudah tentu orang Kristen harus mempromosikan sebuah visi politik yang biblika. Namun demikian harus disadari sepenuhnya bahwa tidak ada bukti adanya korelasi antara kedewasaan spiritual dengan kompetensi manajerial pemerintahan dan keberhasilan dalam berpolitik. Luther sendiri mengatakan bahwa lebih baik bagi dia dipimpin oleh seorang yang tidak beragama dari pada seorang Kristen yang tidak kompeten dalam pemerintahan.
Para politikus Kristen harus menyadari bahwa pemerintahan adalah sebuah institusi yang mengatur relasi-relasi di antara manusia yang berdosa. Oleh sebab itu pemerintahaan di mana pun juga tidak akan mampu untuk mencapai kesempurnaan. Harus dipahami bahwa tujuan dari politik pemerintahan yang baik adalah untuk mencapai keadilan, bukan keselamatan.
Para politikus Kristen juga harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam politik pembebasan sebagai suatu tujuan yang lebih utama daripada kebebasan spiritual di dalam Kristus yang menghasilkan keselamatan kekal. Sebuah contoh yang menarik dari prinsip ini adalah surat Paulus kepada Filemon.
Sudah pasti Paulus bukanlah seorang pendukung perbudakan, dia seringkali mengkampanyekan kesetaraan status di dalam Kristus. Namun Paulus tidak pernah melakukan kampanye politik penghapusan perbudakan yang sudah pasti akan gagal di jamannya. Lebih daripada itu dia tidak memerintahkan Filemon untuk membebaskan Onesimus, budaknya yang melarikan diri, sebaliknya dia mengembalikan Onesimus kepada Filemon, tuannya, setelah bertemu dengan Paulus dalam masa pelariannya. Namun Paulus meminta kepada Filemon untuk menerima kembali Onesimus bukan sebagai budak melainkan sebagai saudara, bahkan dia menasehati agar Onesimus diterima kembali sebagaimana Filemon menerima Paulus yang adalah Bapa rohani bagi Filemon (15-17).
Dimasukkannya surat Filemon ke dalam Perjanjian Baru mengindikasikan bahwa Filemon mengabulkan permintaan Paulus. Pada tahun 110 AD ada sebuah surat yang ditulis oleh Bishop Ignatius dari Siria kepada Bishop Onesimus di Efesus. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa Bishop Onesimus ini adalah orang yang sama dengan budak Onesimus yang melarikan diri dari Filemon tuannya. Contoh dari kisah Onesimus ini menjadi tanda kebebasan yang sejati bagi seorang budak lebih daripada semua hasil usaha emansipasi dan perjuangan kesetaraan sosial yang pernah ada, karena kebebasaannya bukan hanya secara fisik dan sosial tetapi yang lebih utama adalah secara spiritual. Bahkan Paulus mendorong para budak untuk menaati tuan mereka sehingga mereka dapat memuliakan ajaran Allah (Titus 2:10). Spiritual, dan bukan politikal, keselamatan harus selalu menjadi tujuan utama dari orang percaya.
Jadi perspektif kita sebagai orang Kristen tentang politik dan kebijakan publik seharusnya adalah untuk mempromosikan prinsip-prinsip dasar kekristenan dalam kehidupan sipil secara menyeluruh, khususnya dalam pemerintahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar